Form Biodata Umm'Is Corner

Rabu, 09 Januari 2013

Name:
Email Address:
Nama Panggilan
No Handphone
Tempat Tanggal Lahir (hari/bulan/tahun)
Pendidikan Terakhir Pra SMA
SMA dan sederajat
D1/D2/D3
S1
S2
S3
Yang Lain
Alamat Tinggal sekarang
Jurusan/Fakultas/Universitas
Keahlian Keahlian (e.g. komputer, akunting, training, bahasa, memasak dll)
Hobby/Minat
Motivasi/Harapan Bergabung di UmmI's Corner

Get your own free form like this one.

(renungan) aku ingin anak lelakiku menirumu

Kamis, 01 November 2012

dari Neno Warisman: "Izinkan Aku Bertutur"

Ketika lahir, anak lelakiku gelap benar kulitnya,
Lalu kubilang pada ayahnya: "Subhanallah, dia benar-benar mirip denganmu ya!"
Suamiku menjawab: "Bukankah sesuai keinginanmu? Kau yang bilang kalau anak lelaki ingin seperti aku."
Aku mengangguk. Suamiku kembali bekerja seperti biasa.
Ketika bayi kecilku berulang tahun pertama, aku mengusulkan perayaannya dengan mengkhatamkan Al Quran di rumah Lalu kubilang pada suamiku: "Supaya ia menjadi penghafal Kitabullah ya,Yah."
Suamiku menatap padaku seraya pelan berkata: "Oh ya. Ide bagus itu."
Bayi kami itu, kami beri nama Ahmad, mengikuti panggilan Rasulnya. Tidak berapa lama, ia sudah pandai memanggil-manggil kami berdua: Ammaa. Apppaa. Lalu ia menunjuk pada dirinya seraya berkata: Ammat! Maksudnya ia Ahmad. Kami berdua sangat bahagia dengan kehadirannya.
Ahmad tumbuh jadi anak cerdas, persis seperti papanya. Pelajaran matematika sederhana sangat mudah dikuasainya. Ah, papanya memang jago matematika. Ia kebanggaan keluarganya. Sekarang pun sedang S3 di bidang Matematika.
Ketika Ahmad ulang tahun kelima, kami mengundang keluarga. Berdandan rapi kami semua. Tibalah saat Ahmad menjadi bosan dan agak mengesalkan. Tiba-tiba ia minta naik ke punggung papanya. Entah apa yang menyebabkan papanya begitu berang, mungkin menganggap Ahmad sudah sekolah, sudah terlalu besar untuk main kuda-kudaan, atau lantaran banyak tamu dan ia kelelahan.
Badan Ahmad terhempas ditolak papanya, wajahnya merah, tangisnya pecah, Muhammad terluka hatinya di hari ulang tahunnya kelima. Sejak hari itu, Ahmad jadi pendiam. Murung ke sekolah, menyendiri di rumah. Ia tak lagi suka bertanya, dan ia menjadi amat mudah marah.
Aku coba mendekati suamiku, dan menyampaikan alasanku. Ia sedang menyelesaikan papernya dan tak mau diganggu oleh urusan seremeh itu, katanya.
Tahun demi tahun berlalu. Tak terasa Ahmad telah selesai S1. Pemuda gagah, pandai dan pendiam telah membawakan aku seorang mantu dan seorang cucu. Ketika lahir, cucuku itu, istrinya berseru sambil tertawa-tawa lucu: "Subhanallah! Kulitnya gelap, Mas, persis seperti kulitmu!"
Ahmad menoleh dengan kaku, tampak ia tersinggung dan merasa malu. "Salahmu. Kamu yang ingin sendiri, kan. Kalau lelaki ingin seperti aku!"
Di tanganku, terajut ruang dan waktu. Terasa ada yang pedih di hatiku. Ada yang mencemaskan aku. Cucuku pulang ke rumah, bulan berlalu.
Kami, nenek dan kakeknya, datang bertamu. Ahmad kecil sedang digendong ayahnya. Menangis ia. Tiba-tiba Ahmad anakku menyergah sambil berteriak menghentak, "Ah, gimana sih, kok nggak dikasih pampers anak ini!" Dengan kasar disorongkannya bayi mungil itu.
Suamiku membaca korannya, tak tergerak oleh suasana. Ahmad, papa bayi ini, segera membersihkan dirinya di kamar mandi.
Aku, wanita tua, ruang dan waktu kurajut dalam pedih duka seorang istri dan seorang ibu. Aku tak sanggup lagi menahan gelora di dada ini. Pecahlah tangisku serasa sudah berabad aku menyimpannya.
Aku rebut koran di tangan suamiku dan kukatakan padanya: "Dulu kau hempaskan Ahmad di lantai itu! Ulang tahun ke lima, kau ingat? Kau tolak ia merangkak di punggungmu! Dan ketika aku minta kau perbaiki, kau bilang kau sibuk sekali. Kau dengar? Kau dengar anakmu tadi? Dia tidak suka dipipisi. Dia asing dengan anaknya sendiri!"
Allahumma Shali ala Muhammad. Allahumma Shalli alaihi wassalaam.
Aku ingin anakku menirumu, wahai Nabi. Engkau membopong cucu-cucumu di punggungmu, engkau bermain berkejaran dengan mereka Engkau bahkan menengok seorang anak yang burung peliharaannya mati. Dan engkau pula yang berkata ketika seorang ibu merenggut bayinya dari gendonganmu, "Bekas najis ini bisa kuseka, tetapi apakah kau bisa menggantikan saraf halus yang putus di kepalanya?"
Aku memandang suamiku yang terpaku. Aku memandang anakku yang tegak diam bagai karang tajam. Kupandangi keduanya, berlinangan air mata. Aku tak boleh berputus asa dari Rahmat-Mu, ya Allah, bukankah begitu?
Lalu kuambil tangan suamiku, meski kaku, kubimbing ia mendekat kepada Ahmad. Kubawa tangannya menyisir kepala anaknya, yang berpuluh tahun tak merasakan sentuhan tangan seorang ayah yang didamba.
Dada Ahmad berguncang menerima belaian. Kukatakan di hadapan mereka berdua, "Lakukanlah ini, permintaan seorang yang akan dijemput ajal yang tak mampu mewariskan apa-apa: kecuali Cinta. Lakukanlah, demi setiap anak lelaki yang akan lahir dan menurunkan keturunan demi keturunan. Lakukanlah, untuk sebuah perubahan besar di rumah tangga kita! Juga di permukaan dunia. Tak akan pernah ada perdamaian selama anak laki-laki tak diajarkan rasa kasih dan sayang, ucapan kemesraan, sentuhan dan belaian, bukan hanya pelajaran untuk menjadi jantan seperti yang kalian pahami. Kegagahan tanpa perasaan.
Dua laki-laki dewasa mengambang air di mata mereka. Dua laki-laki dewasa dan seorang wanita tua terpaku di tempatnya. Memang tak mudah untuk berubah. Tapi harus dimulai. Aku serahkan bayi Ahmad ke pelukan suamiku. Aku bilang: "Tak ada kata terlambat untuk mulai, Sayang."
Dua laki-laki dewasa itu kini belajar kembali. Menggendong bersama, bergantian menggantikan popoknya, pura-pura merancang hari depan si bayi sambil tertawa-tawa berdua, membuka kisah-kisah lama mereka yang penuh kabut rahasia, dan menemukan betapa sesungguhnya di antara keduanya Allah menitipkan perasaan saling membutuhkan yang tak pernah terungkapkan dengan kata, atau sentuhan.
Kini tawa mereka memenuhi rongga dadaku yang sesak oleh bahagia, syukur pada-Mu Ya Allah! Engkaulah penolong satu-satunya ketika semua jalan tampak buntu. Engkaulah cahaya di ujung keputusasaanku.
Tiga laki-laki dalam hidupku aku titipkan mereka di tangan-Mu. Kelak, jika aku boleh bertemu dengannya, Nabiku, aku ingin sekali berkata: Ya, Nabi. aku telah mencoba sepenuh daya tenaga untuk mengajak mereka semua menirumu!
Amin, alhamdulillah

Susahya menghadapi si 2 tahun

judul asli : My Terrible Two


Akhirnya sampai juga saya menghadapi si ‘Terrible two”. Kata para pakar ada masa-masa dimana seorang anak berubah perilakunya, menjadi lebih agresif dan susah dikendalikan. Senyum yang memberikan kebahagiaan  berganti dengan temper tantrum yang mengesalkan. Tawa yang mengguncang dunia itu berganti dengan rengekan yang bikin pusing kepala. Kaki-kaki kecil itu dapat berlari kemana saja ia mau dan membuat Anda terengah-engah mengejar. Dari orangtua yang bangga dan bahagia, sekarang Anda menjadi polisi yang  kekurangan energi. Masa-masa menggemaskan bayi Anda telah lewat dan mau tidak mau Anda menghadapi masa yang di sebut‘terrible two’. 


Beberapa pekan terakhir ini saya mendapati ada perubahan terhadap perilaku Fatih. Ia yang biasanya penurut, mudah diberi pengertian menjadi susah dikendalikan dan cepat putus asa. Menangis sambil berteriak-teriak kalo keinginannya ga dituruti jadi moment yang sering kali saya hadapi, melakukan hal-hal yang kadang sampai membuat saya berteriak histeris karena khawatir akan bahaya yang menimpanya, situasi yang terkadang  membuat jengkel karena ulahnya, sampai perasaan malu melihat ulah ‘konyolnya’ (pandangan orang dewasa) dan sangat tidak sopan. Kata-kata ‘jangan’ seolah jadi perintah ketika saya sedang melarang. Misalkan, ‘Jangan lari!, eh ia malah tambah ngibrit. Menyiramkan air di makanan ketika kami sedang makan sudah biasa, makanya kami tetap waspada untu tidak menaruh minuman disamping kami. Manjat-manjat kursi, di dekat kompor yang menyala, padahal saya sudah member peringatan akan bahayanya. Membuat ayahny tak bisa berkutik kalo di rumah walo hanya sekedar tilawah ataupun baca buku karena ia hanya ingin main-main dan main kalo ayahnya di rumah……(Sebenarnya Wajar  kalo ia selalu mengajak main kalo ayahnya di rumah, coz seharian hanya bersama Ibunya), Yang paling menggemaskan nih, saat ini tidurnya tambah larut malam…..padahal mata ibunya sudah tinggal beberapa watt, sedangkan ayahnya harus seringkali lembur kalo lagi kena deadline (Lembur di rumah tentu tak bisa, karena setiap pegang lepi seringnya diambil alih Fatih untuk liat kereta api asap). Dan jalan terakhir ayahnya harus ngungsi ke kantor dulu, sampai Fatih bobok. Itupun juga tak lekas bobok, coz ia selalu bermain-main dulu walopun saya sudah beranjak ke tempat tidur ‘pura-pura bobok’.

Selama ini kami memang menikmati setiap polah tingkahnya yang lucu. Celotehnya yang menggemaskan. Tapi sekarang ini ada saja hal yang terkadang membuat kami harus banyak-banyak mengelus dada, beristighfar dan selalu mendoakan atasnya kebaikan.

Pernah suatu ketika,  seperti biasanya ayah Fatih pulang ke rumah untuk makan siang (kebetulan kantornya dekat). Fatih baru saja selesai saya suapi. Jadi saya dan ayah bisa makan siang bareng dalam 1 piring. Kami makan di lantai teras (karena ga ada meja n kursi nih…..dan lebih nyaman lagi walo di teras depan rumah tapi ga kelihatan dari jalan). Tiba-tiba, pas di tengah-tengah acara makan, saya lihat seperti semprotan air, sewaktu saya menoleh kea rah datangnya. Astagfirrullah!!! Fatih buang air kecil ke arah kami hingga kami semua basah berikut makanannya. Kaget!!!.. bukan main….. perasaan jengkel pun ga bisa kami sembunyikan, namun kami coba tetap redam amarah…..(mo marah gimana coba???…..ngomel-ngomel, bentak-bentak, ah tidak bijak rasanya…..He’s just a kid.

Acara makan siang sempat tertunda dengan kejadian nih. Baru ketika ketika suasana hati sudah agak reda, kami mencoba member pengertian dia bahwa perbuatan tersebut enggak bagus, ga boleh diulangi. ‘Kan dah di ajari kalo buang air di toilet, ngerti nggak Fatih? Tanyaku kemudian menegaskan. Jawabnya, ‘ngerti’ (sambil pringas pringis)…..^_^

Mungkin tidak hanya kami saja yang mengalami masa-masa sulit bersama si Kecil, tetapi semuanya adalah sebuah proses yang sangat berharga ketika kita bisa melaluinya. Tentu perlu diingat pula, walaupun disebut ‘terrible two’ tidak semua anak merepotkan orangtuanya di usia ini. Berikut, untuk menjadi orangtua yang lebih baik seringkali tidak datang secara alami, dalam arti kita juga harus belajar dan berlatih. Sama dengan anak kita yang belajar untuk mengenal dunia dan menaklukkannya tahun demi tahun, orangtua juga belajar untuk mengembangkan kemampuan parenting mereka.

Bagi yang memiliki anak Batita (1-3) tahun ada baiknya mencoba untuk mempraktekkan teknik-teknik di bawah ini. (Sumbernya liat di sini!)

1. Bangun Pembatas Masa Depan Sekarang
Meskipun setiap anak berbeda dalam menaati batasan yang kita buat tapi kita harus memilikinya. Batasan sebenarnya memberikan rasa aman kepada anak kita. Dengan itu mereka mulai belajar untuk membedakan yang baik dan tidak baik, antara yang boleh dan tidak boleh. Berhasilnya orangtua untuk membuat batasan yang benar, sederhana dan mudah diikuti bukan saja akan mempengaruhi jiwa anak pada saat mereka beusia dua tahun tapi ini juga akan membantu mereka untuk menentukan batasan sepanjang hidup mereka.

2.  Serius Jalankan Atau Tinggalkan
Tetap konsisten tidaklah segampang membuat batasan. Misalnya kita membuat aturan “Makan harus duduk di meja makan”, hari ini bisa dikerjakan tapi belum tentu besok kita akan tetap bertahan dengan aturan ini. Bagaimana dengan satu bulan kemudian? Atau bagaimana kalau anak kita harus diasuh nenek yang punya aturan yang berbeda?
Oleh karena itu jangan pernah membuat aturan jika Anda tidak serius menjalankannya.  Dua atau tiga aturan yang konsisten dijalani lebih baik dari dua puluh tiga aturan yang mudah dilanggar.

3. Ijinkan Einstein Lahir di Rumah Anda
Seringkali rasa ingin tahu anak kita yang berotak Einstein disalahtafsikan sebagai kenakalan. Banyak orangtua yang melarang anak mereka melakukan sesuatu tapi tidak memberikan sarana pengganti untuk menyalurkan bakat jenius mereka.

Ketika anak kami Joel mencoret-coret dinding apartemen sewaan kami yang putih bersih, saya sempat sewot. Saat itu saya belum sepenuhnya menyadari kalau anak kami sedang mencari cara untuk menyalurkan bakatnya. Melarangnya membuat karya seni di dinding adalah benar hanya kalau kita memberikannya  cara lain yang lebih baik. Akhirnya kami memberikan buku gambar, papan gambar, meja gambar, atau apa saja yang dapat mengalihkan perhatiannya untuk menggambar di dinding rumah.

Ijinkan anak-anak kita menyalurkan energi mereka secara positif. Berikan wadah untuk mereka berkarya. Izinkan mereka bermain di luar rumah dan berteriak sesuka mereka jika tempatnya memungkinkan. Bawa mereka ke tempat bermain anak-anak semampu kita dan biarkan mereka mengeksplorasi  dengan bebas. Biarkan mereka menikmati masa kanak-kanak pada waktu mereka masih kanak-kanak. Dan jika kita berkata ‘jangan’, berikan selalu alternatif lain yang ‘boleh’.

4. Wujudkan Kasih Sayang Lewat Tindakan
Saya sering bertemu dengan orangtua yang kelihatannya lebih bermasalah dalam hal tantrumdari anak mereka. Mereka berteriak, membentak, mengancam, bahkan memukul. Tanpa disadari, anak-anak mereka belajar  dari apa yang mereka lakukan. Jangan heran kalau anak-anak ini juga belajar untuk mengkspresikan emosi mereka secara negatif dan penuh kekerasan. Akhirnya, lingkaran setan ini menjadi pola hubungan atara orangtua – anak, atau antara anak dengan teman-temannya.

Orangtua yang tetap tenang dan lembut meskipun anak mereka sedang tantrum, adalah model yang terbaik dalam pembentukan kepribadian anak. Kasih sayang itu lemah lembut dan panjang sabar, sebenarnya prakteknya dapat dimulai dari mendidik anak-anak kita.

Penulis adalah seorang konselor profesional dan juga penulis buku “Turning Hurt Into Hope”(Metanoia 2009).

Saya copas juga dari sini artikel terkait tentang tantrum and terrible two.
Terrible Two
Tangisan anak itu suara musik alam yang indah. Memang kalau mendengar suarabayi menangis berjam-jam maka akan menimbulkan rasa cemas dalam diri kita,tetapi kalau anak 2 tahun menangis berjam-jam tidak berhenti padahal segalacara sudah kita keluarkan untuk membujuknya, biasanya kejengkelanlingkunganlah yang akan muncul. Pada akhirnya cara kekerasan baik secarafisik maupun verbal berupa nada ancaman sering dicobakan untuk menjadi‘senjata pamungkas’.

The Terrible Two adalah julukan yang sering dilontarkan untuk si 2 tahunyang memang sudah mulai sering menentang dan banyak ulah. Negativistic &Tantrum yaitu bersikap negatif, semau gue, tidak mau diatur, keras kepala,di sisi lain suka merajuk, mudah mengamuk dan emosional memang merupakanciri perkembangan si 2 tahun. Memang untuk perkembangan sampai usia 5 tahun,masa 2 tahun merupakan masa yang paling sulit, di mana sering terjadi suatutransisi dari anak yang manis menjadi anak yang penentang dan terlihat‘nakal’ di mata lingkungannya. Masalahnya sebenarnya terletak pada orangtua,bagaimana trik-trik yang dimilikinya untuk ‘mengelola’ anak sehingga menjadimanis dan penurut kembali.

Menurut Hans Grothe, seorang psikolog perkembangan dari Jerman, sebenarnyatangisan dan teriakan tantrum anak ternyata tidak berkaitan dengan usia. Takhanya si 2 tahun yang melakukannya, si 3 atau 5 tahun pun kadang-kadangmasih melakukannya. Memang frekuensi yang terbanyak adalah pada si 2 tahun.Menurutnya ada 3 kunci untuk meredakan tangisan anak yaitu ketenangan,ketenangan dan ketenangan. Tentu saja dalam tiga tataran yang berbeda-beda.Dan kemampuan ini tidak begitu saja jatuh dari langit melainkan paraorangtua harus melatih dan belajar melihat reaksi anak.

Menjadi orangtua sebenarnya seperti seorang peneliti di laboratorium.Mencoba sebuah formula pola asuh, memecahkan masalah sesuai dengan budayanyaserta kemudian melihat reaksi yang terjadi dengan dicobakan formulanya.Apabila tidak cocok dan reaksi buruk maka harus dicobakan formula yang lainsampai cocok. Dan biasanya formula yang cocok untuk satu anak belum tentucocok untuk anak yang lainnya. Jadi berlatih dan belajar menjadi penelitiadalah tugas orangtua agar sukses mendidik anak-anaknya. Beberapa formulaini silakan dicoba.

Tenang, Tenang dan Tenang
Kunci meredakan tangisan dan teriakan anak adalah bersikap tenang dan tidakperlu tergesa-gesa. Tidak perlu panik dan jengkel bila si 2 tahun meledaktangisnya. Orangtua yang nampak gelisah atau memendam kemarahan tentu akansulit menerima kondisi si kecil yang juga sedang tidak nyaman dengantangisannya sendiri. Anak membutuhkan figur yang tenang dan mampumengendalikan emosinya ketika mendekati anak. Kontrol emosi Anda akanmembuat suatu ruang toleransi apapun reaksi tambahan yang akan dikeluarkananak. Latihan bagi para orangtua untuk mencapai ketenangan adalah denganpernafasan perut, minum segelas air putih, mencuci muka dan yang pentingempati pada keadaan anak bahwa kita harus membantunya keluar dari tangisandan situasi yang sedang tidak mampu dikendalikannya.

SentuhanBagi anak,
ketenangan dapat dicapai dengan mudah melalui suatu sentuhan.Jadi apabila Anda tenang dan siap menghadapi si 2 tahun tanpa bersikapemosional, belaian pada rambut usapan pada punggung, memeluknya ke pangkuanatau menggedongnya ke tempat yang lebih tenang, akan menenangkannya segera.

Meskipun demikian kalau tangisan menghantam emosinya begitu kuat terhadangsentuhan justru mengganggunya dan membuatnya marah, tentu jangan memaksa.Biarkan kemarahannya reda terlebih dalu, berikan waktu anak meredakan emosidan kemarahan serta ketidaknyamanan yang dirasakannya. Lalu pelan-pelan dansetahap demi setahap dekati dan tunjukkan ketenangan dan sentuhan Anda.

Alihkan Perhatian dan Bersikap ”Tuli”
Sekali lagi perlu diingat 2 tahun adalah masa sulit, dan penuh tantangan.Terkadang anak begitu sukar dikendalikan, bahkan menolak untuk disentuh ataudiberi perhatian. Sekali lagi jangan memaksakan diri. Cara yang jitu menurutbanyak ahli perkembangan anak adalah bersikap ”tuli” pada tangisannya danmengalihkan perhatian kita agar tidak terganggu dengan tangisannya.

Misalnyapura-pura ke dapur untuk memasak, memperhatikan burung yang terbang ataumengomentari mobil yang lewat. Untuk itu diperlukan kecepatan berpikir danimprovisasi kita. Biasanya anak akan terpengaruh dan melupakan tangisannyakarena tertarik dengan hal baru di sekitarnya. Selamat melatih diri untukmenjadi orangtua yang tenang, tenang, dan tenang…!

sumber :
diambil dari http://duniarumah.wordpress.com/2011/07/10/oh-my-terrible-two/
judulnya sy tambahin sendiri :D

Cuma Sekedar Ibu??

Ada seorang wanita yang sedang
memperbarui SIM-nya. Dia diminta
oleh wanita petugas di bagian
pendaftaran untuk menyebutkan
pekerjaannya. Dia bingung
bagaimana harus menjelaskan
pekerjaannya.

"Maksud saya," kata wanita di
bagian pendaftaran itu, 'Anda
memiliki pekerjaan atau Anda
hanya ...?'
"Tentu saja saya punya pekerjaan,"
bentak wanita itu. "Saya seorang
ibu."
"Kami tidak menuliskan 'Ibu' sebagai
pekerjaan, 'ibu rumah tangga' saja
sudah cukup,' katanya tegas.
***
Saya lupa semua tentang kisah itu
sampai suatu hari saya berada di
situasi yang sama.
Petugas di bagian administrasi itu
adalah jelas seorang wanita karir,
tegap, tegas, dan memiliki titel yang
kedengarannya hebat sperti,
'Petugas Interogasi Resmi' atau
'Petugas Administrasi Kota. "
"Apa pekerjaan Anda?" Dia
mengecek.
Apa yang membuat saya mengatakan
itu, Saya tidak tahu. Kata-kata itu
muncul begitu saja.
"Saya adalah seorang Research
Associate di bidang Child
Development dan Human Relations
(Peneliti di bidang Perkembangan
Anak dan Hubungan Manusia.)
Petugas itu berhenti, ujung pena
pun beku di udara, dan dia
mendongak seolah-olah dia tidak
mendengar dengan benar.
Saya mengulanginya lagi dengan
perlahan, berusaha mengatakannya
mirip dengan yang tadi.
Lalu saya menatapnya dengan heran
karena pernyataan saya ditulis
dengan tinta hitam yang tebal pada
sebuah kuesioner resmi.
"Kalu boleh saya mau bertanya,"
kata petugas wanita itu dengan rasa
ingin tahu, 'Apakah yang Anda
lakukan di bidang Anda? "
Dingin, tanpa ragu-ragu, saya
mendengar diri saya menjawab,
"Saya punya program penelitian
yang berkelanjutan, (ibu mana yang
tidak)... Di laboratorium dan di
lapangan, (biasanya saya bilang
dalam ruangan dan di luar)... Saya
bekerja untuk Atasan saya, (pertama
Tuhan dan kemudian seluruh
keluarga)... dan sudah mendapatkan
4 penghargaan (semua anak
perempuan)... Tentu saja, pekerjaan
itu sangat membutuhkan banyak
pengorbanan, (semua ibu pasti
setuju)... dan seringnya saya bekerja
14 jam sehari, (24 jam tepatnya)...
Tapi pekerjaan itu lebih menantang
daripada kebanyakan karir yang
harus dikejar lainnya, dan hasilnya
adalah lebih kepada kepuasaan,
daripada uang "
Suara pegawai itu pun kemudian
terdengar lebih menghormati saya
ketika mengakhiri kuisioner itu, dia
pun berdiri dan mengantarkan saya
ke luar pintu.
***
Saya pun melaju menuju rumah
saya, bersama dengan karir baru
saya yang glamor, saya disambut
oleh asisten lab saya - usia 13, 7,
dan 3.
Di lantai atas saya bisa mendengar
model baru percobaan kami, (bayi
berusia 6 bulan), dalam program
perkembangan anak, menguji pola
vokal baru.
Saya merasa telah berhasil
mengalahkan birokrasi! Dan saya
telah menjadi catatan resmi sebagai
seseorang yang lebih terhormat dan
sangat diperlukan bagi umat
manusia dari 'sekadar ibu'. ke-ibu-
an.
Karir yang luar biasa.
Apalagi kalau ada papan namanya di
pintu.
***
Ini berarti Nenek bisa jadi: 'Senior
Research associates in the field of
Child Development and Human
Relations'
('Peneliti Senior di bidang
Perkembangan Anak dan Hubungan
Manusia')
Dan nenek buyut: 'Executive Senior
Research Associates" (Peneliti Senior
paling senior)
Bibi adalah "Research Associate
Asisten. " (Asisten Peneliti)
***
Silakan kalau mau kirim tulisan ini
ke ibu2 yang lain, Nenek, Bibi, dan
teman-teman yang Anda tahu.
Semoga masalah Anda dapat
berkurang, sementara berkahnya
bertambah. Dan tidak ada selain
kebahagiaan menghampiri Anda.
Jadilah ramah kepada siapa saja dan
terhadap apa pun yang terjadi.
Setiap orang yang Anda temui
sedang berperang dalam
peperangannya masing2. Anda tidak
pernah tahu kapan saat kata-kata
yang tulus, walau sedikit, bisa
berdampak pada kehidupan.
Jasmin Choy

Cukup Dua Sayang

“Nalurinya masih ingin minum ASI, tapi dia sudah sadar harus berhenti”
Ada yang sangat mengesankan di ulang tahun pernikahan kami ke-4. Kado yang sangat indah dan mengejutkan. Kado ini datang dari putri kami, Arifa. Arifa bisa berhenti minum ASI tepat di ulang tahun ke-2 versi kalender hijriyah.
Awalnya kami pesimis bisa menyapih Arifa. Betapa tidak, Arifa sangat tinggi angka ketergantungan ASInya. Sampai lewat masa ASI eksklusif, Arifa masih minta ASI dimanapun kapanpun. Seperti layaknya iklan sebuah minuman, apapun makanannya, ASI minumannya. Apapun aktivitasnya, ASI minumannya. Bagaimanapun kondisi hatinya, ASI minumannya. Arifa sangat betah mengenyot berjam-jam, bahkan hampir dua jam nonstop. Gaya minum ASInya pun bermacam-macam, mulai dari yang normal (berbaring), menungging, berdiri, duduk di atas badan saya, dan gaya-gaya kreasi sendiri yang seringkali mengundang tawa. Karena permintaan ASI yang tinggi ini, produksi ASI pun berlimpah. Saya sendiri sudah deg-degan, menyapih dalam kondisi ASI masih banyak, biasanya berpotensi menyebabkan dada bengkak dan badan demam menggigil. Tapi sungguh sebuah anugerah, proses penyapihan berhasil!
Kalaupun Menyakiti, Minimalis Saja
Ada berbagai pilihan cara menyapih yang sudah beredar di masyakarakat.
Pertama, menyapih dengan mengoleskan sesuatu di payudara untuk tujuan menakut-nakuti. Misalnya mengoleskan lipstik, kunyit, brotowali, menempelkan plester, dan lain-lain. Tak hanya masyarakat Indonesia, di belahan dunia lain pun cara ini berlaku, misalnya saja suku Pasthun di Pakistan menakut-nakuti dengan menggunakan rambut.  Bagi saya, cara ini mengandung unsur penipuan dan pencemaran “nama baik” ASI. Saya sangat tidak sepakat. Kita mengenalkan ASI sebagai minuman “surga” bagi anak kita, tapi mengakhirinya dengan merusak citra menawan ASI. Apakah kita rela, yang terkenang di benak anak kita adalah ASI yang pahit, yang menyeramkan, berdarah-darah. Cara ini sudah dilakukan oleh nenek buyut atau paling buyut kita yang menulis membaca pun mungkin belum bisa. Mengapa kita, yang sudah sarjana bahkan mungkin lebih tinggi lagi, masih menggunakan cara ini?
Cara kedua, menyapih dengan memisahkan ibu dan anak. Katanya, agar anak mudah lupa ASI. Sungguh menyedihkan cara ini. Anak sudah disuruh berhenti minum ASI saja sangat menyakitkan hatinya, mengapa harus berpisah dengan ibunya dalam kondisi dia tersakiti? Sudah jatuh tertimpa tangga, ibaratnya. Dalam momen penting dalam hidupnya ini, seharusnya ada sosok yang dicintainya di dekatnya.
Cara ketiga, membawa anak ke orang “pintar” yang merangkap tukang pijat ibu dan anak. Di desa saya, cara ini populer. Ibu dan anak pergi ke Nyai Haji xxx untuk dipijat dan dibacakan doa-doa, yang ibacakan katanya diambil dari Al Quran. Di daerah lain, ada ritual begini, si tuang pijat duduk membelakangi anak sambil membacakan doa-doa. Tukang pijat akan mengiming-imingi kue kesukaan anak dengan memberikannya lewat belakang. Lucu memang. Tapi saya tidak sepakat mengkaitkan proses penyapihan anak dengan “pijat-doa” orang khusus, ada kekhawatiran tersendiri.
Cara keempat, membiarkan anak berhenti menyusu dengan sendirinya. Cara ini tampaknya tidak menipu dan tidak pula menyakiti, tapi menurut saya sungguh tidak mendidik. Anak kita biarkan terlena di zona nyaman, sementara sudah seharusnya dia pergi ke zona lain. Saya sedih, karena saya dahulu  termasuk yang seperti ini. Saya menyusu sampai usia 3,5 tahun. Rekor yang pernah saya dengar, adalah bibi saya, menyusu sampai usia 9 tahun! Sangat keterlaluan, menurut saya.
Cara kelima, hamil lagi. Konon, ASI orang hamil jadi tidak enak, makanya si kakak akan dengan sendirinya tidak mau minum ASI. Saya tentu saja tidak sepakat. ASI masih tetap enak dan bergizi meski ibu sedang hamil, hanya jumlahnya berkurang. Selama tidak membahayakan janin dan ibu (seperti perut kontraksi, kepala pusing selama menyusui) dan sudah konsultasi dengan dokter kandungan atau bidan, tidak ada larangan menyusui saat hamil. Saya pun ketika hamil Arifa, saya tetap menyusui Abrar yang saat itu baru 6 bulan. Setelah melahirkan, diteruskan menyusui tandem (Abrar dan Arifa sekaligus) selama  9 bulan sampai Abrar genap 2 tahun versi Hijriyah. Bagi saya, dalam kondisi normal,  menyuruh kakak berhenti minum ASI dengan alasan ada adik di perut, sama saja dengan menanamkan bibit-bibit permusuhan. Saya tidak ingin si kakak merasa haknya terampas oleh si adik. Tapi yang saya tahu, jarang ada ibu menyengaja hamil untuk menyapih si kakak. Selain itu, karena hamil adalah pertemuan antara takdir dan ikhtiar manusia, maka menurut saya pun cara ini tidak fleksibel dalam hal waktu.
Saya memilih cara yang menurut saya paling aman, mengandung unsur mendidik, menyadarkan, tapi tidak melenakannya di zona nyaman. Kalaupun menyakiti hati anak, saya ingin seminimal mungkin. Cara apakah itu?
Puasa ASI, Hari Raya ASI
Saya memilih menyapih dengan cara mengurangi frekuensi ASI perlahan-lahan. Saya mengistilahkannya dengan puasa ASI. Ketika menyapih Abrar, saya menerapkan puasa ASI sejak sebulan sebelum ulang tahun ke-2, dari shubuh sampai maghrib. Karena ketergantungan ASI Arifa saya lihat lebih besar dari Abrar, maka saya menerapkan puasa ASI bagi Arifa sejak dua bulan sebelum ulang tahun. Waktunya pun berbeda. Bangun tidur, jam berapapun, saya persilahkan sahur ASI dahulu. Kemudian puasa sampai dzuhur. Di lain pekan, saya ganti puasanya, sejak dhuhur sampai maghrib. Sebelumnya anak diajak berkomunikasi terlebih dahulu tentang apa dan mengapa suatu saat harus berhenti minum ASI.
Menangiskah Arifa? Tentu saja, di sat-saat tertentu. Puasa ASI sangat melelahkan bagi si ibu, karena harus pandai-pandai mengalihkan keinginan minum ASI ke hal lain. Setiap hari harus menemukan cara baru, karena jika caranya monoton, anak akan bosan dan makin tidak tertahankan keinginan minum ASInya. Bagi saya, bulan puasa ASI ini sekaligus menjadi bulan melatih emosi saya saat mendengar tangisan  Arifa yang ingin minum ASI. Butuh kekonsistenan Ibu saat anak sudah merajuk minta ASI. Harus punya batasan-batasan kapan anak boleh buka puasa. Saya membolehkan Arifa bolong puasa misalnya saat Arifa tidak enak badan, perjalanan jauh, pulang kampung, pindahan, atau saat saya sedang tidak enak badan. Di luar itu, berbagai cara harus diupayakan agar keinginan minum ASI teralihkan. Misalnya dengan membelikan makanan dan minuman yang disukai, mengajak bermain, menyanyi, menari, bermain kejar-kejaran, bersepeda, olahraga, mendongeng, mewarnai, masak-masakan, jalan-jalan di sekitar rumah, melihat semut-siput-kelinci-ayam, mengumpukan berbagai dedaunan di sekitar rumah, bermain ke rumah kerabat, berbelanja, ikut pengajian, jalan-jalan ke mall, piknik ke tempat wisata, dan lain-lain. Saat puasa ASI itu, ternyata Arifa suka digendong kalau sudah mengantuk atau bosan bermain. Mungkin karena sejak bisa berjalan (13 bulan) Arifa lebih sering berjalan daripada digendong.
Setelah melewati bulan puasa ASI, sehari sebelum ulang tahun adalah hari raya ASI untuk Arifa. Arifa boleh minum ASI sepuasnya. Kami juga meyediakan berbagai macam kado yang sedang diminatinya. Kado itu sengaja dibeli sore hari, Arifa yang memilih kadonya, sekaligus jalan-jalan agar di malam pertama penyapihan hati Arifa sedang gembira. Syukuran kecil-kecilan pun diadakan setelah jalan-jalan, sembari mengingatkan Arifa tentang “Janji Dua Tahun”.    
Janji Dua Tahun
Komunikasi tentang keharusan berhenti minum ASI sangat penting. Perlu jauh-jauh hari mengatakan hal tersebut. Kami sekitar setengah tahun sebelum ulang tahun kedua, sudah membuat janji umur dua tahun untuk Arifa. Begini bunyinya : Janji Dik Arifa/ Umur dua tahun/ Tidak Boleh Minum Ummi/ InsyaAllah InsyaAllah/ Yes Yes Yes. Hal itu diucapkan dengan menggerakkan tangan sebagai penjelas makna kalimat tersebut. Awalnya, Arifa menjawab Iya. Namun setelah memahami makna kalimat tersebut, Arifa lebih sering menjauh atau mengatakan “Nggak”. Tapi saya senang dengan berubahnya jawaban Arifa. Itu karena artinya Arifa mulai paham makna janji tersebut. Saya meminta keluarga dan kerabat dekat untuk ikut serta mengingatkan janji dua tahun. Memang, hasilnya sampai sekarang Arifa sangat hafal janji tersebut. Tentunya tak sekedar hafal, tapi Alhamdulillah paham.
Memilih Waktu Pertandingan
Saya kadang mengibaratkan penyapihan semacam pertandingan. Pertandingan hati nurani Ibu. Kuatkah Ibu mendengar tangisan anak yang minta ASI? Jika kuat, demi kebaikan sang anak, selama tidak membahayakan anak, itu artinya menang.  Jika tidak kuat, hanya karena sang ibu tidak mau menanggung letih karena anak rewel, itu artinya kalah.
Menjelang malam-malam penyapihan pun tak ubahnya menjelang malam-malam menunggu kelahiran. Deg-degan, apakah berhasil atau tidak. Maka saya memastikan kondisi saya, anak-anak, dan keluarga besar siap secara fisik dan psikis, karena malam penyapihan bisa menjadi malam begadang untuk seisi rumah. Tentu saja, sebenarnya lebih enak saat menyapih Abrar, karena saya dan suami masih tinggal bersama (satu rumah hanya kami dan anak-anak). Ini memudahkan untuk tetap komitmen dengan penyapihan apapun yang terjadi (selama tidak membahayakan anak). Nah, sedangkan saat menyapih Arifa, saya dan anak-anak pindah sementara ke rumah orangtua dengan komposisi yang kompleks (Simbah Putri, Simbah Kakung, Pakdhe, Budhe, jumlahnya 10 orang). Tentu saja perlu mengkomunikasikan kepada semua tentang aturan yang mau saya terapkan saat menyapih. Benar saja, ini sangat berguna saat penyapihan berlangsung.
Begadang Ayo Begadang
Adzan maghrib tanggal 16 Dzulqoidah 1433 H menjadi penanda dimulainya penyapihan Arifa. Sampai pukul 22.00, Arifa masih asyik bermain dengan mainan hadiah umur dua tahun. Arifa sangat suka dengan mainan yang menyibukkan dirinya seperti mencetak aneka bentuk dari lilin-lilin berwarna. Karena kelelahan, Arifa hanya menangis sebentar, minta gendong, tertidur di gendongan. Saya pikir aman malam ini. Ternyata, tengah malam terbangun minta ASI. Saya harus menggendongnya selama Arifa menangis, sampai tertidur. Cukup lama rewelnya, hampir dua jam.
Ternyata, puncak rewelnya adalah malam ke-3 dan ke-8. Mungkin ibaratnya, “sakau” ASInya malam itu. Arifa menangis super kencang. Tenaganya sangat kuat, tidak bisa digendong. Jika digendong, badannya melintir kemana-mana. Arifa inginnya lari ke dapur, tapi tidak jelas keinginannya. Semakin dituruti apa yang dikatakan sambil menangis, semakin panjang permintaan dan tangisnya, juga semakin memancing emosi. Misalnya, Arifa mengatakan (sambil menangis kencang), minta susu di botol gambar bayi. Selesai dibuatkan, minta dipindah ke botol gambar kuda. Terus permintaanya, sampai di botol ke-4, Arifa  membanting botol dan susunya muncrat membasahi wajah saya. Nah, dalam kondisi seperti ini, sangat potensial membuat ibu marah. Saya memilih berhenti menuruti permintaan Arifa dan membaringkannya di tempat tidur. Keluarga besar tidak tega melihat tangis kencang Arifa, tapi saya meminta mereka tidak ikut campur menangani tangis Arifa.
Arifa tipikal yang tidak suka dikasihani. Jika keluarga besar men”cup-cup-cup” agar berhenti menangis, tangisnya justru semakin kencang. Tidak pula bisa dikerasi. Jika dibentak, makin kencang pula tangisnya. Jadi lebih baik dipersilahkan mengekspresikan kesedihan dan kekesalannya dengan berbagai gaya menangis. Saya persilahkan menangis, asal tidak pergi ke dapur atau kamar mandi dan tidak membawa benda atau mainan yang membahayakan. Saya katakan begini: “Dik Arifa silahkan menangis, nggak papa, Ummi temenin sambil ngaji di sini”. Setelah tangisnya agak mereda dan bisa diajak bicara, barulah saya tanya Arifa ingin apa.
Ada yang lucu. Ternyata Arifa menginginkan membuat sendiri minumannya, di gelas Simbah, susu formula dicampur air teh. Waow....teh tarikh! Minumnya disuapi dengan sendok, sambil digendong dengan menggunakan selendang Simbah Putri. Setelah selesai minum, Arifa bertanya banyak hal, kemudian minta tidur sembari didongengi buku barunya dan dipijiti dengan minyak tawon. Memang permintaannya sangat detail, tapi selama diucapkan secara sadar (tidak sambil menangis), berarti memang itulah hal yang diinginkannya. Itulah yang membuatnya nyaman ketika dilarang minum ASI.
Hal yang lucu lagi adalah Arifa pernah terbangun jam 2 pagi. Super rewel seperti biasa. Saya pun kembali mempersilahkan Arifa mengeskpresikan kesedihan dan kekesalannya. Setelah tangis agak reda, baru saya tanya apa yang diinginkannya. Arifa ingin bemain menggunting dan menemel gambar di buku barunya. Saya menemaninya mengkhatamkan buku gunting tempelnya, sampai sekitar pukul 04.30, sembari menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar gambar-gambar yang dilihatnya. Malam-malam berikutnya, Arifa selalu ingin menggunting dan menempel gambar menjelang tidur.   
Setiap tangis berbeda-beda keinginannya. Kadang tengah malam, minta makan nasi, hanya nasi tidak mau lauk. Kadang minta lauk, hanya lauk (ayam goreng, telur rebus), tidak dengan nasi. Kadang minta roti dioles selai kacang bertabur meises. Kadang minta teh manis hangat atau sari kurma di gelas khusus. Tapi yang lebih sering, minta digendong sembari dikipasi.
Evaluasi dari menyapih Arifa, seharusnya jadwal puasa ASI ditambah pada jam-jam tertentu di malam hari. Sehingga saat penyapihan, rewel di malam hari dapat berkurang karena sudah pernah latihan.  
Tahan Godaan Menyusui, Rayuan “Orang Pintar”
Kata orang, biasanya anak yang disapih hanya rewel 2-3 hari, paling lama seminggu. Memang, Abrar pun hanya rewel dua malam. Tapi Arifa sampai dua minggu (siang dan malam), masih relatif rewel, walaupun puncaknya hanya di malam ke-3 dan ke-8. Lelah karena kurang tidur dan menuruti ini-itu. Ada godaan dari dalam diri untuk kembali menyusui, agar Arifa tidur nyenyak dan saya pun bisa tidur. Tapi saya mencoba tetap komitmen. Saya berpikir, mungkin ini karena ketergantungan ASInya sangat tinggi.
Bisik-bisik tetangga mulai terdengar. Maklum, kami tinggal di desa, semua saling kenal. Mendadak Arifa jadi terkenal, karena tangisnya. Tapi mereka memaklumi karena hampir semua anak yang disapih akan rewel. Mereka berbaik hati, menyarankan mengikuti yang banyak dilakukan ibu-ibu di desa ini, menyapih dengan perantara Nyai Haji XXX, yang dikenal sebagai “orang pintar”. Saya sampaikan, sudah saya bawa ke orang pintar, setiap hari malah, namanya “Nyai Isti Prihandini, S.Sos”, hehehehehe. Ada-ada saja ya.   
Tanpa Bekal, Kurang Akal
Menyapih tentu saja perlu bekal. Tentu saja perlu membaca artikel-artikel tentang penyapihan. Selain itu persediaan makanan, minuman, dan mainan pun perlu banyak. Ini penting karena saya butuh banyak ide untuk mengalihkan energi dan perhatian Arifa saat ingin minum ASI.
Masa puasa ASI bisa menjadi masa observasi terhadap hal-hal yang disukainya. Ini yang saya sediakan saat menjelang masa menyapih. Jika keinginan minum ASI muncul, saya tawarkan makanan, kue, atau minuman yang disukai. Atau saya ajak bermain dan membaca buku-buku yang baru dibelinya.
Ada yang lucu. Saya membelikan buku anak berjudul wortel. Sebenarnya agar kedepannya Arifa suka dengan wortel, apalagi dalam buku itu ada gambar kelinci lucu. Ternyata, Arifa malah terpukau dengan gambar anak kecil yang sedang digendong ibunya di dalam buku itu.  Malah Arifa jadi makin suka minta gendong. Hmmmmh....
Digendong Kemana-Mana
Hal yang paling sering diinginkan Arifa dalam dua minggu pertama penyapihan adalah digendong. Permintaan digendong muncul disaat-saat yang sama ketika masih minum ASI, yaitu saat mau tidur, terbangun di tengah-tengah tidur, bangun tidur, dan ketika tidak ada “kerjaan” alias bosan bermain. Arifa minta digendong dengan posisi tidur sambil jalan-jalan di dalam rumah. Lama, kadang bisa hampir dua jam digendong. Setiap sudah tidur digendongan, saya taruh di kasur, akan terbangun. Baru setelah benar-benar puas digendong, Arifa mau turun.
Saya tak ingin ini menjadi kebiasaan baru Arifa. Maka, memasuki pekan ketiga, saya mulai mengurangi frekuensi gendong secara bertahap. Di waktu tertentu saya menuruti permintaan gendongnya. Di waktu lain, saya mempersilahkan Arifa menangis karena tidak boleh gendong.
Syukur Alhamdulillah, Arifa mulai bisa tidur tanpa digendong terlebih dahulu. Saat terbangun di tengah malam pun, hanya saya belai-belai lagi, bisa kembali tertidur.
Ohya, awalnya setelah disapih Arifa tidak mau melihat saya mencuci atau mengerjakan pekerjaan domestik lainnya. Walau sedang asyik bermain, begitu melihat saya mulai mencuci misalnya, Arifa minta gendong. Hal-hal seperti ini yang mulai saya abaikan di pekan ke-3 penyapihan. Saya sampaikan bahwa selain bermain dengannya, mencuci dan membersihkan rumah juga perlu untuk kenyamanan Arifa juga. Kadang, Arifa paham.
Waspada Ibu Jatuh Sakit
Berdasarkan artikel dan cerita-cerita, biasanya ibu yang menyapih akan mengalami pembengkakan payudara. ASI penuh tapi tidak boleh dikeluarkan, sehingga dada kencang dan sakit walau hanya tersenggol sedikit. Kadang, si ibu akan menggigil kedinginan atau demam selama seminggu. Saya mengantisipasi agar hal tersebut tidak terjadi. Hari-hari pertama menyapih, saya cuti dari pekerjaan domestik. Saya fokus menyapih Arifa. Jika Arifa tidur, segera saya ikut tidur. Intinya adalah saya menghemat energi sehemat-hematnya, agar saat Arifa butuh saya, kondisi badan saya tidak kelelahan. Memang, payudara menjadi kencang dan sakit, tapi hanya dua hari. Hanya saya kompres dengan air hangat. Setelah itu normal kembali. Alhamdulillah tidak sampai menggigil atau demam.
Dukungan semua orang
Menyapih bagi saya sangat berat. Butuh dukungan, semua orang. Butuh lingkungan yang mendukung. Bersyukur, meski suami jauh, tapi dukungannya sangat dirasakan. Keluarga besar suami, keluarga besar saya, juga sangat membantu keberhasilan menyapih ini. Tentu saja, dukungan sulung saya. Abrar yang baru 3 tahun 3 bulan sering mengatakan ke adiknya begini, “Dede Lifa, Umul dua tahun Mas Abaw nggak minum Ummi lho, telus dapat hadiah dali Ummi Abi”. Oh....thanks Abrar... (Hmmm, tapi ujung-ujungnya minta kado juga meski tidak ulang tahun :p)
Nalurinya Masih Ingin ASI, Tapi...
Suatu malam, di pekan kedua menyapih, Arifa yang sedang tidur tiba-tiba membuka kancing 
baju saya. Saya, karena sedang tidur, malah ikut membantu membukakan kancing yang lain. Seperti saat masih menyusui, Arifa saya peluk agar enak menyusu. Baru sebentar mengenyot, tiba-tiba saya terbangun, dan sadar bahwa Arifa sudah saya sapih. Saya menarik badan saya menjauh dari Arifa dan mengatakan bahwa sudah tidak boleh minum ASI. Arifa yang juga terbangun, tidak marah atau menangis diberi lampu merah berhenti menyusu. Mungkin nalurinya masih ingin menyusu, tapi Arifa sudah sadar harus berhenti. Terkadang, Arifa mengatakan bolehkah hanya melihat atau memegang tempat ASInya saja, tidak minum. Saya sampaikan, boleh, tapi tidak lama-lama karena Arifa sudah besar.
Semua itu Pilihan
Saya pikir, menyapih adalah pilihan. Dalam Al Quran hanya “dianjurkan” menyusui sampai dua tahun, bukan diwajibkan. Tidak ada dosa jika kurang atau lebih dari dua tahun. Di dunia kesehatan pun, kata yang digunakan adalah “dianjurkan”, bukan “diwajibkan”. Namun, menurut saya, pasti ada hikmah besar mengapa dalam Al Quran dianjurkan hanya menyusui sampai dua tahun.
ASI adalah hal yang sangat dicintai anak. Jika umur dua tahun anak dilatih untuk behenti minum ASI, artinya kita melatih anak berani kehilangan sesuatu yang dicintainya. Perlu pengorbanan menahan keinginan minum ASI. Ya, saya berharap, dengan disiplin menyapih, dapat  melatih anak berkorban kehilangan sesuatu yang dicintainya.
Menyapih, dengan cara Puasa ASI, bagi saya adalah hal yang berat dan melelahkan. Butuh manajemen khusus agar badan dan emosi tetap sehat. Jadi menurut saya, menyapih tepat di usia dua tahun juga melatih sang ibu agar mau berkorban demi kebaikan sang anak, agar sang ibu berani mencintai kelelahan.
Ya, minum ASInya cukup sampai umur dua tahun saja ya Sayang....
 
ditulis oleh Isti Prihandini,member Ummis Corner

Mendekatkan Al-Quran pada anak

Selasa, 16 Oktober 2012

 Oleh: Mohammad Fauzil Adhim

Kita dapat mengajari anak-anak untuk menghafal dengan cepat dan membaca de­ngan lancar. Tetapi keterampilan melafazkan Al-Qur’an dengan benar tidak dengan sendirinya membuat anak-anak dekat hatinya pada Al-Qur’an. Bisa membaca dengan baik tidak sama dengan mampu mengambil petunjuk. Bahkan sekedar faham bahwa Al-Qur’an merupakan petunjuk, pembeda dan penjelas pun belum tentu. Sebab, sangat berbeda antara memahami secara kognitif dengan dorongan spontan untuk selalu me­lihat bagaimana Al-Qur’an berbicara.

Itu sebabnya, berbicara tentang bagaimana mengajarkan Al-Qur’an sama pentingnya dengan meyakini bahwa tidak ada keraguan sama sekali di dalamnya. Mengajarkan keterampilan membaca dan menghafal Al-Qur’an tanpa menanamkan keyakinan yang kuat sekaligus pengalaman berinteraksi dengan ayat-ayat Al-Qur’an, sama seperti meletakkan bertumpuk kitab di punggung keledai. Banyak ilmu di dalamnya, tetapi tak bisa mengambil pelajaran darinya.

Lalu apa yang perlu kita perhatikan? Pertama, kita berusaha menghidupkan jiwa anak-anak kita dengan Al-Qur’an. Kita limpahi mereka kasih sayang sebagaimana kita melihat lemah-lembutnya Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam terhadap anak. Berlimpahnya kasih-sayang saat sedang bersama mereka atau lebih-lebih saat mengajarkan Al-Qur’an merupakan bekal untuk membuat jiwa mereka hidup tatkala belajar. Selain itu, menghidupkan jiwa juga berarti membuat anak-anak senantiasa melihat dan merasakan “ada ayat Al-Qur’an” dalam setiap kejadian yang mereka jumpai. Ini menuntut kemampuan guru untuk mengajarkan Al-Qur’an secara kontekstual. Artinya, guru harus mampu menjadikan anak melihat bahwa ke­mana pun ia hadapkan wajahnya, di situlah ia melihat ayat Allah Ta’ala. Bukan mengait-ngaitkan Al-Qur’an agar sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan atau trend pemikiran. Yang demikian ini bukan kontekstual, tetapi tabrir al-waqi’ (pembenaran realitas).

Hasil dari upaya “menghidupkan jiwa” adalah anak-anak yang memiliki orientasi hi­dup sangat kuat. Mereka menjadi pribadi visioner semenjak usianya yang belia. Sesungguh­nya Al-Qur’an tidaklah berbicara dunia kecuali untuk mengajak manusia meraih kebahagiaan akhirat. Al-Qur’an mengajak kita untuk hidup dengan visi akhirat yang kuat, sehingga senantiasa bersungguh-sungguh melakukan kebaikan demi kebaikan yang Allah Ta’ala ridhai. Ini berarti kita harus memahamkan anak mengapa ada amal shalih yang diridhai, mengapa pula ada yang tidak.

Kedua, membangun tradisi berpikir yang berpijak pada Al-Qur’an. Kita membiasakan anak memikirkan ayat serta mengambil pelajaran darinya. Kita menanamkan pola pikir berupa tradisi mendeduksikan ayat Al-Qur’an dengan memahami makna (tafsirnya) dari orang-orang yang memiliki otoritas dan literatur terpercaya. Sesudah itu, baru kita mengajak anak untuk menggunakan nalarnya agar mampu memahami lebih jauh. Jadi bukan menggunakan nalarnya lebih dulu baru memahami maknanya. Sebab ini lebih dekat dengan praduga daripada tafsir, lebih cenderung kepada pembenaran pikiran daripada menemukan kebenaran sehingga bisa mengoreksi kesalahan kita dalam berpikir.

Tampaknya sepele, tetapi jika tidak berhati-hati dalam mengajarkan kita bisa keliru mengembangkan cara berpikir yang sebaliknya. Anak-anak kita ajak untuk melihat realitas, memikirkan sebab akibat serta berusaha menemukan cara berpikir, sesudah itu baru mencari ayat-ayat Al-Qur’an yang sesuai. Yang demikian ini dapat menimbulkan kesalahan berpikir bahwa kebenaran Al-Qur’an itu relatif. Jika cara berpikir semacam ini sudah tumbuh, akibat berikutnya adalah runtuhnya keyakinan bahwa kebenaran Al-Qur’an bersifat mutlak. Tak ada keraguan di dalamnya. Pada gilirannya ini menyebabkan anak kelak tidak lagi mengam­bil petunjuk dari Al-Qur’an.

Na’udzubillahi min dzaalik.

Mirip tetapi sangat berbeda pengaruhnya adalah membiasakan anak berpikir dan berdiskusi, kemudian melihat bagaimana Al-Qur’an memberi petunjuk. Dalam hal ini, Al-Qur’an menjadi pemisah mana yang haq dan mana yang bathil dalam setiap perkara. Al-Qur’an menjadi penilai setiap urusan.

Ketiga, mengajarkan kepada anak untuk memegangi Al-Qur’an dengan kuat. Ada beberapa aspek kekuatan yang perlu kita bangun pada anak agar bisa berpegang pada Al-Qur’an. Semuanya saling berkait dan saling mendukung kesanggupan untuk menggenggam erat pe­tunjuk Al-Qur’an.

Secara sederhana, beberapa aspek tersebut meliputi kekuatan hati sehingga mereka memiliki antusiasme yang kuat, kecintaan yang mendalam dan kemampuan menghafal yang baik; kekuatan pikiran sehingga memudahkan mereka belajar, menajamkan kemampuannya memahami maupun mengambil pelajaran; kekuatan fisik sehingga mereka memiliki kesanggupan untuk mempertahankan, memperjuangkan serta daya untuk belajar; serta kekuatan motivasi sehingga mereka bisa belajar dengan keinginan yang kuat dan perhatian yang penuh.

Wallahu a’lam bishawab.

***Semoga catatan sederhana ini bermanfaat yang menulis, membaca dan men-share/copas tulisan ini. Ingatkan saya, nasehati saya jika menjumpai kekeliruan --apalagi kesalahan serius-- dalam tulisan ini. Jazaakumullah khairan katsiiran.

 
UmmIsCorner © 2012 | Designed by Bubble Shooter, in collaboration with Reseller Hosting , Forum Jual Beli and Business Solutions