Mendekatkan Al-Quran pada anak

Selasa, 16 Oktober 2012

 Oleh: Mohammad Fauzil Adhim

Kita dapat mengajari anak-anak untuk menghafal dengan cepat dan membaca de­ngan lancar. Tetapi keterampilan melafazkan Al-Qur’an dengan benar tidak dengan sendirinya membuat anak-anak dekat hatinya pada Al-Qur’an. Bisa membaca dengan baik tidak sama dengan mampu mengambil petunjuk. Bahkan sekedar faham bahwa Al-Qur’an merupakan petunjuk, pembeda dan penjelas pun belum tentu. Sebab, sangat berbeda antara memahami secara kognitif dengan dorongan spontan untuk selalu me­lihat bagaimana Al-Qur’an berbicara.

Itu sebabnya, berbicara tentang bagaimana mengajarkan Al-Qur’an sama pentingnya dengan meyakini bahwa tidak ada keraguan sama sekali di dalamnya. Mengajarkan keterampilan membaca dan menghafal Al-Qur’an tanpa menanamkan keyakinan yang kuat sekaligus pengalaman berinteraksi dengan ayat-ayat Al-Qur’an, sama seperti meletakkan bertumpuk kitab di punggung keledai. Banyak ilmu di dalamnya, tetapi tak bisa mengambil pelajaran darinya.

Lalu apa yang perlu kita perhatikan? Pertama, kita berusaha menghidupkan jiwa anak-anak kita dengan Al-Qur’an. Kita limpahi mereka kasih sayang sebagaimana kita melihat lemah-lembutnya Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam terhadap anak. Berlimpahnya kasih-sayang saat sedang bersama mereka atau lebih-lebih saat mengajarkan Al-Qur’an merupakan bekal untuk membuat jiwa mereka hidup tatkala belajar. Selain itu, menghidupkan jiwa juga berarti membuat anak-anak senantiasa melihat dan merasakan “ada ayat Al-Qur’an” dalam setiap kejadian yang mereka jumpai. Ini menuntut kemampuan guru untuk mengajarkan Al-Qur’an secara kontekstual. Artinya, guru harus mampu menjadikan anak melihat bahwa ke­mana pun ia hadapkan wajahnya, di situlah ia melihat ayat Allah Ta’ala. Bukan mengait-ngaitkan Al-Qur’an agar sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan atau trend pemikiran. Yang demikian ini bukan kontekstual, tetapi tabrir al-waqi’ (pembenaran realitas).

Hasil dari upaya “menghidupkan jiwa” adalah anak-anak yang memiliki orientasi hi­dup sangat kuat. Mereka menjadi pribadi visioner semenjak usianya yang belia. Sesungguh­nya Al-Qur’an tidaklah berbicara dunia kecuali untuk mengajak manusia meraih kebahagiaan akhirat. Al-Qur’an mengajak kita untuk hidup dengan visi akhirat yang kuat, sehingga senantiasa bersungguh-sungguh melakukan kebaikan demi kebaikan yang Allah Ta’ala ridhai. Ini berarti kita harus memahamkan anak mengapa ada amal shalih yang diridhai, mengapa pula ada yang tidak.

Kedua, membangun tradisi berpikir yang berpijak pada Al-Qur’an. Kita membiasakan anak memikirkan ayat serta mengambil pelajaran darinya. Kita menanamkan pola pikir berupa tradisi mendeduksikan ayat Al-Qur’an dengan memahami makna (tafsirnya) dari orang-orang yang memiliki otoritas dan literatur terpercaya. Sesudah itu, baru kita mengajak anak untuk menggunakan nalarnya agar mampu memahami lebih jauh. Jadi bukan menggunakan nalarnya lebih dulu baru memahami maknanya. Sebab ini lebih dekat dengan praduga daripada tafsir, lebih cenderung kepada pembenaran pikiran daripada menemukan kebenaran sehingga bisa mengoreksi kesalahan kita dalam berpikir.

Tampaknya sepele, tetapi jika tidak berhati-hati dalam mengajarkan kita bisa keliru mengembangkan cara berpikir yang sebaliknya. Anak-anak kita ajak untuk melihat realitas, memikirkan sebab akibat serta berusaha menemukan cara berpikir, sesudah itu baru mencari ayat-ayat Al-Qur’an yang sesuai. Yang demikian ini dapat menimbulkan kesalahan berpikir bahwa kebenaran Al-Qur’an itu relatif. Jika cara berpikir semacam ini sudah tumbuh, akibat berikutnya adalah runtuhnya keyakinan bahwa kebenaran Al-Qur’an bersifat mutlak. Tak ada keraguan di dalamnya. Pada gilirannya ini menyebabkan anak kelak tidak lagi mengam­bil petunjuk dari Al-Qur’an.

Na’udzubillahi min dzaalik.

Mirip tetapi sangat berbeda pengaruhnya adalah membiasakan anak berpikir dan berdiskusi, kemudian melihat bagaimana Al-Qur’an memberi petunjuk. Dalam hal ini, Al-Qur’an menjadi pemisah mana yang haq dan mana yang bathil dalam setiap perkara. Al-Qur’an menjadi penilai setiap urusan.

Ketiga, mengajarkan kepada anak untuk memegangi Al-Qur’an dengan kuat. Ada beberapa aspek kekuatan yang perlu kita bangun pada anak agar bisa berpegang pada Al-Qur’an. Semuanya saling berkait dan saling mendukung kesanggupan untuk menggenggam erat pe­tunjuk Al-Qur’an.

Secara sederhana, beberapa aspek tersebut meliputi kekuatan hati sehingga mereka memiliki antusiasme yang kuat, kecintaan yang mendalam dan kemampuan menghafal yang baik; kekuatan pikiran sehingga memudahkan mereka belajar, menajamkan kemampuannya memahami maupun mengambil pelajaran; kekuatan fisik sehingga mereka memiliki kesanggupan untuk mempertahankan, memperjuangkan serta daya untuk belajar; serta kekuatan motivasi sehingga mereka bisa belajar dengan keinginan yang kuat dan perhatian yang penuh.

Wallahu a’lam bishawab.

***Semoga catatan sederhana ini bermanfaat yang menulis, membaca dan men-share/copas tulisan ini. Ingatkan saya, nasehati saya jika menjumpai kekeliruan --apalagi kesalahan serius-- dalam tulisan ini. Jazaakumullah khairan katsiiran.

0 komentar:

Posting Komentar

 
UmmIsCorner © 2012 | Designed by Bubble Shooter, in collaboration with Reseller Hosting , Forum Jual Beli and Business Solutions